My First Story
15 OKTOBER
Oleh : Anvita Riliani
| S |
aturday, yang saya sering dengar sih begitu. Tepat
tanggal 15 dibulan kelahiran kakakku. Hari itu, aku melakukan aktivitas seperti
biasa. Saat itu Aku masih duduk dibangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama.
Tempat yang cukup dekat untuk ditempuh berjalan kaki. “SMPN 1 SEMENDE DARAT
LAUT” slogan yang memaksa mata untuk membacanya, karena terletak tepat
digerbang sekolah. “Hai,” kami memanggilnya Arianti. Cewek yang cukup smart
diantara kami.
Canda tawa, dan senda gurau itu dimulai. Cerita
kemarin mulai diperdebatkan kembali. Rasanya keakraban itu sangat jauh berbeda
dengan sekarang. Yang lebih mementingkan egois, daripada solidaritas
kesekawanan. Aku sangat merindukan mereka. Sekarang sudah tak semudah dulu
untuk berkomunikasi.
Tapi, bukan itu yang mau ku ceritakan. Hari itu
terasa agak sedikit berbeda. Aku gelisah, namun tak tahu apa dibalik itu semua.
Mulai dari jam pertama pelajaran dimulai. Saat itu aku tiba-tiba dikagetkan
oleh suara yang memanggilku. “Vit, gua denger dari orang yang jualan di toko
deket rumah lo, katanya ada orang kecelakaan”. Panik tiba-tiba menyerang
seperti orang sakit jantung. Akupun mendekatinya. Kami biasa memanggilnya Ulil.
“Hei, kamu kalo ngomong hati-hati! Emang siapa?”, dan dia menyebutkan nama yang
tak pernah aku inginkan. Ayah, aku terbayang wajahnya. Airmata pun rasanya
sudah tak bisa ditahan. “Ya Allah”, aku berkata dalam hati. Semoga ini semua
salah. Rasanya aku pengen cepet-cepet pulang dan memastikan semuanya. “Jangan
dulu nangis Vit!, siapa tau aja salah”, Sari menenangkanku.
Rasanya aku tak mau pulang. Sampai diperempatan
jalan, terlihat begitu ramai orang berlalu lalang didepan rumahku. Hatiku kian
panas. Jantungku rasanya sudah tidak bisa bekerja normal lagi. Langkah kakiku
semakin dekat. Dan, apa boleh dikata. “Nak, tidak usah panik!, Ayahmu baik-baik
saja”. Akupun terus berjalan tanpa menggubrisnya. Mataku tertuju pada satu
arah.
Ternyata,
yang diharapkan malah bertolakbelakang. Ulil kali ini benar. Akupun langsung
menanyakan itu semua pada Ibu. Dan nasi sudah menjadi bubur. Aku melihat Ayah
sudah terbaring ditempat tidur. Dan dikerumuni banyak orang.
Ku pikir aku sudah kehilangan sosok itu. Yang
menjadi tulang punggung keluarga ini. Aku rasanya ingin berteriak dilapangan
yang tak seorangpun mampu mendengarnya. Sudahi saja cerita ini sampai disini.
Aku seperti kehilangan sosok yang sangat ku kagumi. Ibu hanya diam. Tak tentu
raut wajah dan apa yang dipikirkannya. Berat rasanya menerima ini semua.
Terlintas dibenakku sekolah ini akan selesai
sampai disini. Seperti tak ada tujuan pasti lagi. Cita-cita sepertinya hilang
melayang tertiup angin. Sejak saat itu, aku jadi agak sedikit pendiam. Aku
selalu meratapi apa yang menimpa keluarga kami.
Untungnya, Ayah adalah sosok kawan yang baik.
Banyak orang, sanak saudara yang hampir setiap hari membesuk Ayah. Satu bulan
kemudian, Ibu dapat saran dari orang terdekat kami bahwa ada semacam pengobatan
alternatif yang bisa menyembuhkan Ayahku. Ibu langsung membuat keputusan untuk
pergi kesana. Ku pikir itu bukan tempat yang tak pernah aku bayangkan. Jawa
Barat.
Tuhan, apa harus seberat ini? Esoknya akupun
melihat Ibu sudah berkemas. Aku tau dia akan berkata begitu. “Ta, kau jaga
adikmu baik-baik!”. Aku hanya diam tersenyum, tapi hatiku mungkin kalian bisa
membayangkannya. Mobil hitam Wak Rasyid pergi meninggalkan kami. Rasanya aku
takkan pernah bertemu mereka lagi.
Teringat sebelum berangkat. Baru kali ini aku
melihat Ayah menangis. Biasanya dia tak pernah sesedih itu. Ternyata dia
teringat pada nenek yang sudah seumur adikku lamanya dia meninggal. Betapa terpukulnya dia melihat kejadian ini semua.
Kejadian yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Sejak mereka pergi aku tinggal bersama nenek dan
adikku yang kecil. Hari-hariku kini berubah menjadi suram. Aku tak menginginkan
apa-apa lagi. Semua tinggal do’a yang terbaik untuk Ayah. Aku hanya ingin
melihatnya tersenyum kembali seperti sebelum kejadian 15 Oktober itu. Mungkin
kabut yang menyelimuti hati sudah ingin menetes menjadi airmata.
Ku pikir takkan ada kabar lagi tentang mereka.
“Kriiinggg...”. My Mother, begitu tertulis contact name di handphoneku.
“Ibu..”. “Nak, sedang apa? Mana adik Novi?”. “Aku sedang belajar Bu, adik Novi sudah
pergi ke masjid seperti biasa belajar Al-qur’an”. “Oh iya Nak, titip salam saja
buat adik Novi kalau dia sudah pulang”. “Baik Bu, mana Ayah?”, aku menambahkan.
“Ayahmu sedang tidur, baru selesai terapi”. Tiba-tiba airmataku menetes, namun
aku berusaha untuk menghapusnya seolah Ibu tak boleh tahu. “Kapan pulang Bu?”.
“ Masih lama Nak, sabar, do’akan saja yang terbaik untuk kita semua!”. Ibu
menutup telepon. Begitu rutinitas yang berubah drastis dalam hidupku.
Hari demi hari terlewati. Tak terasa sudah dua
bulan kami tak bertatap muka dengan Ibu dan Ayah. Rasanya aku hampir lupa raut
wajah mereka.
“Anak-anak NIM ini Ibu bagikan, segera bubuhkan
tanda tangan orangtua! Besok atau lusa kumpulkan pada Ibu kembali!”.
Maria Bintang Sari, acapkali kami memanggilnya Bu
Maria. Guru yang konsisten terhadap pekerjaan. Terenyuh hatiku mendengar berita
itu. Tiba dirumah lagi-lagi aku membiarkan mata ini menangis. Niat buruk itu
terlintas dikepalaku. Memalsukan tanda tangan? Aku berkata dalam hati. Tapi ini
adalah jalan satu-satunya. Mengharapkan apa yang diperintahkan oleh Bu Maria
tadi sepertinya percuma. Selesai.
Aku
mengikuti kata hati yang tak tau kebenarannya. Alhamdulillah, dalam hal ini tak
ada masalah. Takut pun sempat menghantuiku. Tapi tidak selamanya aku bisa
membohongi diriku sendiri dan orang lain.
Setiap harinya hampir ada saja yang bertanya,
“KAPAN AYAHMU PULANG?”. Dan jawaban pun selalu sama. Yang tak pernah aku
harapkan. Karena sudah bulan ujian, biasanya kakakku pulang. Benar ia pulang.
Aku dan adik pun tidak benar-benar merasakan kesepian. Satu minggu kakak pulang
tiba-tiba ada telepon. Ternyata Ibu. “Nak, besok Ibu pulang”. “Baiklah Bu, kami
bisa siapkan segalanya”. Hari itu aku seperti mimpi akan bertemu orang yang
paling berharga dalam hidupku ini. Wajah mereka begitu sulit dibayangkan. Tak
tahu karena rindu atau sudah lama tak bertemu.
Seperti hari biasanya aku sekolah dan dilanjutkan
les sore karena akan segera menghadapi ujian. Doaku begitu banyak pada-Nya.
Gelisah, semua terlihat begitu semu. Nyaris tak bertuan. Aku segera ingin
pulang. Apakah yang dibilang Ibu semalam benar. Ia akan pulang.
Jam 15.15 aku terdiam didepan pintu langsung
memandang wajah itu. Hampir lupa sepatu masih setia pada kakiku. Akupun
melepasnya dan memeluk Ayah. Akhirnya mimpi semu itu terwujud juga. Aku bisa
menatap wajahnya lagi. Tapi ada yang aneh ku lihat. Kaki Ayah. Ibu menjelaskan
semuanya. Ternyata orang yang memberi saran itu bohong. Hasil pengobatan itu
nihil. Keadaan Ayah masih seperti sebelum pergi kesana. Bahkan terlihat lebih
parah dari sebelumnya. Bengkak. Aku tak tahu harus bicara apalagi, antara
senang dan sedih itu membaur dalam kalbu.
Dan kini beberapa hari setelah itu, Ibu memutuskan
untuk kembali bekerja. Petani, aku bangga pada mereka. Pendidikan kami yang
takkan pernah ada tanpanya. Ayah tinggal bersamaku dan adik.
Kakakku sudah menjemput semester 4 dalam kuliahnya,
libur pun sudah berakhir. Teringat betul bayangan sore itu, Ayah akan
melaksanakan perintah-Nya. “Baaakkk...”. aku pun langsung berlari kecil.
“Ayah,” aku terperanjat. “Ya Allah”, ayah berdesis kesakitan. Dia terpeleset
dan tersungkur dilantai. Saat itu seperti aku yang terjatuh. “Bangun Yah!”
sambil memapahnya masuk ke ruang ibadah. Rasanya terlalu munafik mataku jika
tidak menangis.
Beberapa hari kemudian Ibu pun pulang. Dan tak
disangka sebelumnya dia memutuskan untuk melakukan operasi kaki Ayah ke tempat
kakakku kuliah, Baturaja. Perasaan sunyi itu sepertinya akan menemani kami
lagi. Tapi semua ini sudah dipertimbangkan dengan matang. Keputusan Ibu seperti
guruh yang mendesak saat derasnya hujan suci itu belum reda. Merekapun pergi.
Yah, mungkin kesepian sudah jadi bagian utama
skenario Tuhan untukku. Dua minggu kemudian setelah operasi selesai Ibu memberi
kabar akan pulang keesokan harinya. Akhirnya kami berkumpul lagi seperti biasa.
Dan syukurlah, setelah pulang dari operasi di Baturaja itu keadaan
Ayah semakin membaik. Dan syukurlah, setelah pulang dari operasi di
Baturaja itu keadaan Ayah semakin membaik. Tak terasa dua tahun sudah Ayahku
berjalan dengan bantuan gift.
(latepost:2012)
Komentar
Posting Komentar